Dalam pembahasan Syariat, dikenal istilah الْحَقِيْقَةُ الشَّرْعِيَّةُ (makna syara’), الْحَقِيْقَةُ اْلعُرْفِيَّةُ (makna istilah), dan الْحَقِيْقَةُ اللُّغَوِيَّةُ (makna bahasa).
Makna syara’ adalah makna yang ditunjukkan dan dikenalkan oleh Syara’ yang bisa difahami dari sekumpulan nash Syara'. Makna Istilah adalah makna yang dipakai oleh komunitas tertentu yang lepas dari makna asalnya (makna bahasa). Makna bahasa adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadz-lafadz itu sendiri yang jika dipakai oleh pemilik bahasa.
Aturan pemaknaan suatu lafadz dalam nash haruslah mengikuti urutan-urutan tertentu. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Pertama-tama, nash harus difahami terlebih dahulu dengan makna syar’i. Jika tidak ditemukan makna syar’inya maka kemudian nash difahami dengan makna ’urfinya (makna istilahnya). Jika makna ’urfinya juga tidak ada maka dicari maknanya secara bahasa (lughawy).
Contohnya adalah lafadz shalat. Secara bahasa, shalat artinya doa. Namun dalam aturan pemaknaan, kita tidak boleh memaknai suatu lafadz dari makna bahasa secara langsung. Prosedurnya, kita harus mengurutkan dari makna syar’i terlebih dahulu. Makna syar’i Shalat adalah amal yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Atas dasar ini, ketika Rasulullah memerintahkan shahabat untuk shalat, yang terfikir oleh mereka adalah melakukan amal yang di awali takbir, di akhiri salam dengan syarat-syarat tertentu. Bukan hanya aktivitas memanjatkan doa. Demikianlah, dari fakta ini bisa difahami para Shahabat telah mendahulukan pemaknaan secara syar’i sebelum pemaknaan secara ’Urfi maupun Lughawi.
Contoh yang lain adalah lafadz اْلغَائِطُ. Secara bahasa maknanya adalah الْمُطْمَئِنُّ مِنَ اْلأَرْضِ )tempat yang rendah). Namun dalam penggunaannya, yang dimaksud اْلغَائِطُ adalah membuang kotoran. Makna baru berdasarkan kesepakatan semacam ini dinamakan الْحَقِيْقَةُ اْلعُرْفِيَّةُ karena lafadz ini telah dlepaskan dari makna bahasanya yang asli. Jadi ketika kita memahami lafadz اْلغَائِطُ pada ayat berikut ini
[أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ [النساء/43
...Atau salah seorang diantara kalian datang dari membuang kotoran...
Maka janganlah memakai lafadz tersebut dengan makna bahasa (Atau salah seorang diantara kalian datang dari tempat yang rendah). Sebab jika makna ini yang kita pakai, maka setiap kali kita turun ke tempat rendah, maka wajiblah kita berwudhu.
Selanjutnya, marilah kita terapkan kaidah ini untuk memahami makna Jilbab pada ayat di atas.
Untuk memahami makna lafadz jilbab, kita harus mengurutkannya dari makna syar’i sampai makna lughawy.
Terkait makna Syar’i Jilbab, tidak ada nash tertentu yang dapat digali darinya bahwa Syara’ telah memberikan makna Syar’i tertentu terhadap Jilbab sehingga lafadz Jilbab harus dimaknai dengan lafadz tersebut. Dalam kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, misalnya Tafsir Al-Qurtubi, Tafsir Ibnu Katsir, atau Tafsir Jalalain para Mufassir juga tidak pernah berargumen dengan makna Syar’i Jilbab ketika menafsirkan makna Jilbab. Semua itu menunjukkan bahwa Jilbab tidak memiliki makna Syar’i.
Demikian pula makna ’urfi. Tidak ada pemaknaan Urfi terhadap Jilbab, dalam arti ada makna baru yang disepakati setelah dilepaskan dari makna bahasanya yang asli. Sebuah kata bisa dihukumi memiliki makna Urfi jika ada argumentasi Syair atau Natsr orang Arab yang memakai lafadz Jilbab dengan makna ’Urfi tersebut. Oleh karena bukti ini tidak ada, maka bisa dikatakan bahwa makna ’Urfi Jilbab tidak ada.
Dari sini, setelah terbukti Jilbab tidak memiliki makna Syar’i dan makna ’urfi, maka Jilbab tidak bisa tidak harus dimaknai secara Lughawi (Bahasa).
Ibnu Hajar al-Astqalani menulis dalam فَتْحُ اْلبَارِيْ, bahwa جِلْبَابٌ (boleh dibaca dengan جِلْبَابٌ maupun جِلِبَّابٌ ) memiliki delapan makna bahasa. Yakni
1. Al-miqna’ah الْمِقْنَعَةُ yaitu sesuatu yang menutup kepala wanita termasuk hal-hal yang menarik dari (wajah) nya.
2. Al-Khimar الْخِمَارُ yaitu kerudung sebagaimana dijelaskan pada penbahasan sebelumnya.
3. Ma A’radhu Minal Khimar مَا أَعْرَضُ مِنَ الْخِمَارِ yaitu sesuatu yang lebih besar dari kerudung
4. Ats-Tsaubul Wasi’ Duna Ar-rida’, الثَّوْبُ الْوَاسِعُ دُوْنَ الرِّدَاءِ yaitu baju yang luas, yang lebih kecil dari Rida’ (Rida’ adalah kain luas yang dipakai orang arab untuk melindungi dirinya dari dingin).
5. Al-Izar اْلإِزَارُ yaitu selubung yang menutupi tubuh bagian bawah atau sarung.
6. Al-Milhafah الْمِلْحَفَةُ yaitu pakaian yang dipakai di luar pakaian dalam (pakaian kesehariannya) untuk menutupi seluruh tubuhnya.
7. Al-Mula-ah, اْلمُلاَءَةُ yaitu pakaian yang mirip dengan Al-Milhafah. Besar dan luasnya sama. Hanya berbeda sedikit pada desainnya.
8. Al-Qomis اْلقَمِيْصُ yaitu pakaian yang dijahit yang terbuat dari katun dan mempunyai lengan baju.
Narasumber utama:
Ust. Haura Abu Muafa
Pengasuh pesma IRTAQI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
What's the best free slot machines to play online for free - drmcd
BalasHapusThe Top Rated Online Slot Machines for Real Money - The Best Casino Games You 춘천 출장마사지 will find the game 서산 출장안마 on all 속초 출장안마 machines that offer 구리 출장샵 the best value to 청주 출장마사지 play at.